Governance of Knowledge: Strategi Pemerintah dalam Menumbuhkan Ekosistem Bisnis Berbasis Pengetahuan
Governance of Knowledge: Strategi Pemerintah dalam Menumbuhkan Ekosistem Bisnis Berbasis Pengetahuan
Pendahuluan: Dari Pemerintahan ke Tata Kelola Pengetahuan
Di era ekonomi digital dan revolusi industri 4.0, pengetahuan telah menjadi sumber daya strategis utama yang menentukan daya saing bangsa. Jika dulu kekuatan negara diukur dari kekayaan alam atau modal finansial, kini kekuatannya ditentukan oleh kemampuan mengelola, mengintegrasikan, dan memanfaatkan pengetahuan.
Namun, pengetahuan tidak akan otomatis menjadi kekuatan ekonomi tanpa tata kelola (governance) yang tepat. Pemerintah berperan penting sebagai pengarah, penghubung, sekaligus penggerak agar pengetahuan dapat tumbuh menjadi ekosistem produktif dan berkelanjutan.
Inilah yang disebut Governance of Knowledge — pendekatan sistematis di mana kebijakan publik, institusi riset, industri, dan masyarakat disinergikan dalam satu sistem inovasi nasional. Pendekatan ini menjadi fondasi utama dalam membangun Ekosistem Bisnis Berbasis Pengetahuan (EB2P), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Mohamad Haitan Rachman dalam Negeri Framework Ecosystem.
1. Konsep Dasar Governance of Knowledge
Governance of Knowledge berarti mengelola seluruh siklus hidup pengetahuan: mulai dari penciptaan, penyimpanan, distribusi, pemanfaatan, hingga evaluasi dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.
Jika dibandingkan dengan “governance” tradisional yang fokus pada birokrasi dan administrasi, governance of knowledge bersifat adaptif, kolaboratif, dan berbasis data.
Ada tiga prinsip utama dalam governance of knowledge:
-
Keterbukaan (Openness): Pengetahuan harus dapat diakses dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak tanpa sekat.
-
Kolaborasi (Collaboration): Pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal, tetapi fasilitator kolaborasi antara universitas, industri, dan masyarakat.
-
Keberlanjutan (Sustainability): Pengetahuan harus terus diperbarui dan dimanfaatkan untuk menciptakan dampak sosial-ekonomi jangka panjang.
Dengan prinsip-prinsip ini, pemerintah tidak hanya “mengatur” pengetahuan, tetapi juga mengorkestrasi nilai dan inovasi di dalamnya.
2. Mengapa Pemerintah Harus Mengelola Pengetahuan
Pemerintah memiliki tanggung jawab strategis untuk memastikan pengetahuan berkembang menjadi kekuatan pembangunan. Ada beberapa alasan utama:
-
Menjaga Arah Strategis Bangsa.
Tanpa kebijakan pengetahuan yang terarah, riset dan inovasi bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa dampak nyata bagi masyarakat. Pemerintah memastikan sinergi nasional antara kebutuhan pasar, potensi riset, dan tujuan pembangunan. -
Mendorong Transfer Pengetahuan.
Banyak hasil riset berhenti di jurnal. Dengan governance of knowledge, pemerintah dapat mendorong hilirisasi pengetahuan ke bentuk produk, layanan, atau kebijakan nyata. -
Meningkatkan Efisiensi dan Akuntabilitas.
Pengelolaan pengetahuan membantu pemerintah berbasis bukti (evidence-based policy), sehingga setiap keputusan didukung data dan analisis, bukan asumsi. -
Memperkuat Ketahanan Inovasi Nasional.
Negara yang mampu mengelola pengetahuan akan tangguh menghadapi krisis, karena memiliki sistem pembelajaran kolektif yang terus memperbaiki diri.
3. Pilar Governance of Knowledge dalam EB2P
Untuk menumbuhkan Ekosistem Bisnis Berbasis Pengetahuan (EB2P), pemerintah perlu membangun tata kelola berbasis empat pilar utama:
a. Kebijakan Pengetahuan (Knowledge Policy)
Pemerintah harus memiliki kebijakan nasional yang mengatur bagaimana pengetahuan dikelola, dilindungi, dan dimanfaatkan.
Contohnya:
-
Peta Jalan Riset dan Inovasi Nasional
-
Regulasi insentif bagi industri yang berinvestasi dalam riset
-
Standar interoperabilitas data publik
-
Kebijakan keterbukaan hasil riset (Open Access Policy)
Kebijakan ini menjadi rambu dan peta jalan bagi kolaborasi multi-sektor dalam EB2P.
b. Infrastruktur Pengetahuan (Knowledge Infrastructure)
Pengetahuan memerlukan wadah yang kuat. Infrastruktur ini meliputi:
-
Pusat Data Nasional dan Knowledge Repository, untuk menyimpan dan mendistribusikan hasil riset.
-
Innovation Hub dan Science Park, tempat bertemunya peneliti, startup, dan investor.
-
Platform digital untuk kolaborasi lintas institusi.
Dengan infrastruktur ini, aliran pengetahuan dapat bergerak cepat, efisien, dan inklusif.
c. Ekonomi Pengetahuan (Knowledge Economy)
Governance of knowledge tidak berhenti pada riset, tetapi harus menghasilkan nilai ekonomi.
Pemerintah dapat memfasilitasi:
-
Program hilirisasi riset dan komersialisasi inovasi.
-
Skema pembiayaan startup riset (Research-based Startup Fund).
-
Kolaborasi triple helix plus (pemerintah, kampus, industri, masyarakat).
-
Kebijakan fiskal yang mendukung inovasi (misalnya, tax incentive untuk R&D).
Dengan demikian, pengetahuan berubah menjadi produk, paten, atau jasa bernilai tambah tinggi.
d. Budaya Pengetahuan (Knowledge Culture)
Tidak kalah penting, pemerintah harus menumbuhkan budaya yang menghargai belajar, riset, dan inovasi.
Program nasional seperti Gerakan Literasi Digital, Kompetisi Inovasi Daerah, atau Program 1000 Inovator Muda dapat memperkuat ekosistem sosial pengetahuan.
Budaya ini menjadi fondasi keberlanjutan EB2P — karena tanpa budaya belajar, pengetahuan tidak akan tumbuh.
4. Strategi Pemerintah dalam Menumbuhkan EB2P
Agar governance of knowledge efektif, diperlukan strategi komprehensif dan terintegrasi. Beberapa langkah strategis meliputi:
1. Integrasi Data dan Pengetahuan Lintas Sektor
Membuat sistem nasional yang menghubungkan data pendidikan, riset, industri, dan masyarakat.
Sistem ini memungkinkan pemerintah melakukan analisis lintas domain untuk menentukan prioritas kebijakan dan area kolaborasi.
2. Membangun Arsitektur EB2P Nasional
EB2P bukan proyek jangka pendek, melainkan arsitektur ekonomi baru.
Pemerintah dapat memfasilitasi pembentukan EB2P Hub di setiap provinsi, yang berfungsi sebagai simpul kolaborasi antara universitas, pemerintah daerah, dan sektor bisnis.
3. Mendorong Kolaborasi Triple Helix Plus
Kolaborasi antara pemerintah–kampus–industri–masyarakat perlu dilembagakan melalui:
-
MoU lintas sektor berbasis hasil, bukan hanya simbolik.
-
Platform digital co-creation untuk inovasi bersama.
-
Forum Inovasi Nasional yang mempertemukan semua pihak untuk membahas agenda prioritas.
4. Insentif dan Skema Pendanaan Inovasi
Governance of knowledge memerlukan ekosistem pendanaan yang mendukung.
Pemerintah dapat membuat:
-
Dana hibah kompetitif berbasis kolaborasi.
-
Kredit berbunga rendah bagi startup berbasis pengetahuan.
-
Dana matching untuk riset kolaboratif antara universitas dan industri.
5. Reformasi Birokrasi Inovasi
Pemerintah perlu mentransformasi birokrasi menjadi birokrasi pembelajar (learning bureaucracy).
Hal ini dapat dilakukan melalui digitalisasi pelayanan publik, pengembangan talenta ASN berbasis knowledge management, dan sistem penghargaan untuk ide inovatif dari pegawai negeri.
5. Tantangan dan Solusi
Implementasi governance of knowledge tidak mudah. Tantangan utamanya antara lain:
-
Fragmentasi data dan koordinasi antar kementerian.
-
Mindset birokrasi yang masih berorientasi prosedur, bukan hasil.
-
Keterbatasan kapasitas SDM dalam manajemen pengetahuan.
-
Lemahnya budaya berbagi informasi di lembaga publik dan industri.
Solusinya meliputi:
-
Penerapan Knowledge Management System (KMS) di setiap lembaga pemerintah.
-
Pelatihan nasional bagi ASN dan akademisi tentang manajemen pengetahuan.
-
Penyusunan indikator nasional “Knowledge Impact Index” untuk mengukur sejauh mana pengetahuan berkontribusi pada ekonomi dan kebijakan publik.
-
Penerapan sistem insentif berbasis dampak inovasi.
6. Dampak Governance of Knowledge terhadap Perekonomian
Jika diterapkan secara konsisten, governance of knowledge akan membawa perubahan besar:
-
Peningkatan efisiensi kebijakan publik, karena keputusan berbasis data dan riset.
-
Pertumbuhan startup berbasis riset, yang membuka lapangan kerja baru.
-
Transformasi pendidikan tinggi menjadi pusat hilirisasi pengetahuan.
-
Kemandirian ekonomi daerah, karena pengetahuan lokal diberdayakan untuk inovasi.
-
Munculnya perekonomian cerdas (smart economy) yang kompetitif dan berkeadilan.
EB2P menjadi wadah utama di mana governance of knowledge diterjemahkan ke dalam praktik nyata — menjembatani dunia akademik, bisnis, dan masyarakat.
Kesimpulan: Pemerintah sebagai Arsitek Ekosistem Pengetahuan
Governance of Knowledge bukan hanya tentang bagaimana pemerintah mengatur riset dan inovasi, melainkan bagaimana ia mengelola ekosistem pengetahuan secara sistemik untuk menghasilkan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Melalui strategi yang berbasis kolaborasi, kebijakan cerdas, dan budaya belajar, pemerintah dapat menjadi arsitek peradaban pengetahuan — membangun bangsa yang tidak hanya kaya sumber daya, tetapi juga kaya gagasan, solusi, dan inovasi.
Di sinilah esensi EB2P: menjadikan pengetahuan sebagai modal utama pembangunan nasional, bukan sekadar hasil akademik.
Dengan governance yang visioner, Indonesia dapat bertransformasi menjadi Negeri Berbasis Pengetahuan — tempat di mana ilmu, kebijakan, dan inovasi bersatu demi kesejahteraan bersama.
